Rumah Adat Sunda

Rumah Tradisional Sunda

Mengenal Rumah Adat Sunda2
Selain sandang dan pangan, manusia juga membutuhkan papan atau rumah tempat untuk berlindung dari bahaya yang mengancam keberadaannya. Fungsi dan bentuk rumah pun berubah-rubah sesuai dengan kecenderungan dan kebutuhan pada masa yang sedang berlangsung. Pada masa yang lalu orang melindungi dirinya dengan membuat sebuah rumah dari bahan-bahan alam yang tersedia, serta pemaknaan fungsi setiap ruang yang sesuai dengan adat yang dianut. Kesederhanaan bentuk, imajinasi seni, pemaknaan dan nilai ruang pada masa lalu merupakan suatu hal yang bermanfaat untuk kita pahami sebagai pijakan dalam memaknai setiap unsur dan ruang sebuah rumah pada saat ini. Berikut ini paparan mengenai rumah tradisional sunda yang dirujuk dari Ensiklopedi Sunda: alam, manusia dan budaya.

Rumah tradisional sunda seperti nampak di Kanekes, Kampung Naga dan Kampung Pulo (Garut), adalah rumah panggung dengan ketinggian sekitar 50 cm dari atas tanah. Meskipun di daerah pesisir dan dataran rendah, rumah umumnya ngupuk (bukan panggung), tapi ada bukti yang menunjukkan bahwa di situ pun dahulu rumah berbentuk panggung. Rumah Panggung, selain untuk mencegah bahaya (binatang, banjir, dll), juga memberi kehangatan pada penghuninya. Tiang rumah terbuat dari kayu, tetapi diletakkan diatas batu yang disebut umpak (di Kanekes) atau tatapakan.

Rumah tradisional sunda terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

Hareup (depan)
Bagian depan disebut tepas atau emper, digunakan sebagai tempat menerima tamu laki-laki. Tepas di Baduy disebut juga sosoro dan ada yang diberi tambahan yang disebut sosompang (Khusus di rumah Jaro). Sejajar dengan tepas, biasanya ada kamar yang disediakan untuk tamu.

Tengah
Bagian tengah disebut tengah imah, terdiri dari pangkeng (bilik) yang kadang-kadang memakai batas dengan dinding bilik, tapi ada juga yang tidak. Pangkeng atau enggon adalah tempat untuk tidur. Dalam rumah yang agak besar, di bagian tengah ini biasanya ada ruangan untuk berkumpul seisi rumah.

Tukang (belakang)
Bagian belakang rumah terdiri dari dapur dan goah. Laki-laki kalau tidak terpaksa sekali tidak boleh masuk ke dapur, apalagi masuk goah. Pamali (tabu), laki-laki yang masuk dapur dianggap tidak baik, cupar. Dapur selain berfungsi sebagai tempat memasak, juga sering dipakai untuk menerima tamu perempuan.

Dengan demikian jelas bahwa hareup dalah dunia laki-laki, sedangkan tukang adalah tempat perempuan. Hal ini juga nampak pada fungsi halaman. Halaman depan menjadi tempat kegiatan laki-laki, biasanya ditanami berbagai pohon buah-buahan, atau dipakai untuk menjemur padi, dll. Sedang di halaman belakang terdapat sumur atau pancuran, kolam ikan dan ditanami tanaman untuk lalab atau yang mengandung obat-obatan.

Kerangka rumah tradisional sunda disebut rangkay. Rangkay terdiri dari tiga bagian. Bagian atas disebut hateup (atap) dan suhunan(bubungan), bagian tengah disebut rangka atau badan, dan bagian bawah disebut salasar (lantai). Atap rumah tradisional terbuat dari ijuk, atau daun enau, tapi belakang lebih banyak mempergunakan genting, kecuali yang di Kanekes dan Kampung Naga.

Ada tiga jenis suhunan, yaitu suhunan panjang, suhunan pendek (suhunan jure) dan lisung nangkub (lesung tertelungkup). Sedangkan bentuknya ada yang disebut limasan, tagog anjing, dll. Bahan-bahan rumah terbuat dari kayu, walaupun mungkin dahulu ada juga rumah yang tiangnya terbuat dari bambu, karena ada peribahasa hejo tihang, yaitu sebutan buat orang yang selalu pindah-pindah rumah, sehingga tiangnya tak sempat kering. Dinding rumah terbuat dari bilik, yaitu anyaman bambu, ada yang dianyam miring (anyaman kepang), ada yang lurus (anyaman sasag). Ada juga yang mempergunakan papan. Lantai rumah terbuat dari talupuh atau palupuh, yaitu batang-batang bambu yang dibelah dan dicacah, tapi tak sampai terpisah, lalu diratakan dengan panggungnya (yang bersembilu) di atas. Bekas cacahannya memungkinkan udara leluasa masuk dari kolong rumah. Dengan demikian, baik melalui dinding bilik yang juga punya celah-celah, maupun melalui lantai palupuh, pertukaran udara dalam rumah berlangsung dengan baik, walaupun pada umumnya rumah tradisional tidak mempunyai jendela atau lubang angin.

Tangga untuk naik rumah disebut golodog atau babancik (pada rumah tembok). Rumah panggung dengan tatapakan batu ini, secara teknis dapat bertahan dari guncangan gempa bumi, sehingga cocok dengan alam priangan yang banyak gunung apinya yang masih aktif. Tapi rumah-rumah di pesisir atau di dataran rendah, banyak ngupuk, bukan rumah panggung. Di daerah Cirebon bentuk rumah Jawa dan Cina yang Nampak pada bentuk suhunan, misalnya ada bentuk limasan dan suhunannya berbentuk ular naga. Namun pembagian rumah menjadi tiga: depan, tangah dan belakang, masih dipertahankan. Rumah tradisional masih nampak di perkampungan, tetapi kian lama kian banyak orang yang membuat rumah tembok dengan lantai tegel, karena hal itu dianggap menaikkan gengsinya dalam masyarakat. Hanya orang kanekes, penduduk kampung naga dan kampung pulo yang masih mempertahankan tradisi mereka.
(santi2ka)

Rumah Adat Sunda (gambar/sketsa)

index

Dalam masyarakat Sunda buhun (kuno) dikenal beberapa jenis bangunan rumah, Pada umumnya bangunan rumah adat sunda bentuknya panggung, yang kaki-kakinya (tatapakan, istilah sunda) terbuat dari batu persegi (balok) dalam bahasa Sunda disebut batu tatapakan. Untuk tihang (tiang) mengunakan kayu. Bagian bawah/lantai menggunakan papan kayu atau palupuh/talupuh dari bambu. Dindingnya memakai anyaman bambu (bilik) atau papan kayu.

Perbedaannya terlihat pada bagian atas/atap (suhunan), antara lain:

– Julang ngapak, yaitu bentuk bangunan rumah yang suhunan bagian sisi kiri kanan agak melebar ke samping. Ada juga yang menyebutnya memakai sorondoy. Apabila di lihat dari arah depan seperti burung yang sedang terbang.

julangngapak

sketsa suhunan julang ngapak…

– Parahu kumureb, yaitu bentuk bangunan rumah yang atapnya (suhunan) membentuk perahu terbalik (telungkup).

paruhukumereb

sketsa suhunan parahu kumereb…

– Suhunan jolopong, yaitu bentuk bangunan yang atapnya (suhunan) memanjang sering disebut suhunan panjang atau gagajahan.

jolopong atau gagajahan

sketsa suhunan jolopong…

– Tagog anjing, yaitu bentuk bangunan mirip dengan bentuk badak heuay, tetapi ada sambungan kebagian depan dan sedikit turun. Jadi bangunannya tekuk (ngeluk) seperti anjng jongkok.

tagoganjing

sketsa suhunan tagog anjing…

– Badak heuay, yaitu bentuk bangunan seperti saung tidak memakai wuwung sambungan atap (hateup) depan dengan belakang seperti badak sedang membuka mulutnya (menguap, arti sunda heuay).

badakheuay

sketsa suhunan badak heuay…

– Capit gunting, yaitu bentuk bangunan rumah yang atap (suhunan) bagian ujung belakang atas dan depan atas menggunakan kayu atau bambu yang bentuknya menyilang dibagian atasnya seperti gunting.

capitgunting

sketsa suhunan capit gunting…

Menelisik Rumah Adat Sunda

Mengenal Rumah Adat Sunda1

Pada masa kini, mungkin sudah banyak yang tidak mengetahui bagaimana sebenarnya ujud dari rumah khas tatar Pasundan. Ia bagai sesuatu yang sering terdengar sekaligus jauh dari jangkauan indera,padahal ia lahir dari tangan-tangan terampil. Tulisan ini pun sebenarnya berangkat dari sebuah hal yang sangat sederhana, berawal dari suatu sore yang biasa-biasa saja ketika sepupu saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar tiba-tiba bertanya tentang rumah adat Sunda. Sedikit terhenyak saya mendengar pertanyaan polos yang meluncur dari bibir mungilnya tesebut. Sebuah pertanyaan yang terkesan sangat remeh namun menggugah keinginan saya untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal itu. Rumah adat Sunda, bagaimanakah ia sebenarnya? Dan penelusuran kecil-kecilan saya pun lalu tiba-tiba saja dimulai.

Tak ada yang bisa menyangkal, setiap rumah adat tentu memiliki ciri dan keunikannya masing-masing. Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m – 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk menaiki rumah disediakan tangga yang disebut Golodog terbuat dari kayu atau bambu, biasanya tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi pula untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.

Rumah adat Sunda sendiri sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.

Jolopong – atas dasar popularitasnya itu – penelusuran saya pun lalu semakin mengarah pada bentukan rumah adat yang satu ini. Bentuk Jolopong sendiri memiliki dua bidang atap. Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.

Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi, untuk menerima tamu. Pada waktu dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk dan jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu.

Jika ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini ternyata memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar-tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia. Sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh sang rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah di komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.

jenis dan bentuk rumah tradisional sunda

Memang, bentuk dan gaya rumah adat Sunda sudah sangat jarang dijumpai apalagi di daerah perkotaan. Perkembangan jaman membuat rumah-rumah bergaya barat lebih mendominasi, namun bukan berarti gaya tradisional ini hilang sama sekali. Rumah orang Sunda dewasa ini sebagian besar tidak lagi seperti model tradisional, baik dalam penggunaan segala jenis material maupun dalam bentuk dan model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau yang lain menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya, rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah Sunda. Hal ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik materi ada nilai lain yang terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang Sunda yang sangat mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket dengan nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup. Di samping itu, keberadaan kampung adat maupun kampung budaya di Jawa Barat sangat menolong eksistensi bentuk dan gaya suhunan rumah adat Sunda. Bukan hanya nama-nama suhunan rumah yang dipertahankan, tetapi bentuknya pun dipertahankan dan dikembangkan sesuai bentuk aslinya.

2 Responses to “Rumah Adat Sunda”

  1. putrinurasihfatimah Says:

    Rumah Adat Sunda

    Rumah Tradisional Sunda

    Mengenal Rumah Adat Sunda2
    Selain sandang dan pangan, manusia juga membutuhkan papan atau rumah tempat untuk berlindung dari bahaya yang mengancam keberadaannya. Fungsi dan bentuk rumah pun berubah-rubah sesuai dengan kecenderungan dan kebutuhan pada masa yang sedang berlangsung. Pada masa yang lalu orang melindungi dirinya dengan membuat sebuah rumah dari bahan-bahan alam yang tersedia, serta pemaknaan fungsi setiap ruang yang sesuai dengan adat yang dianut. Kesederhanaan bentuk, imajinasi seni, pemaknaan dan nilai ruang pada masa lalu merupakan suatu hal yang bermanfaat untuk kita pahami sebagai pijakan dalam memaknai setiap unsur dan ruang sebuah rumah pada saat ini. Berikut ini paparan mengenai rumah tradisional sunda yang dirujuk dari Ensiklopedi Sunda: alam, manusia dan budaya.

    Rumah tradisional sunda seperti nampak di Kanekes, Kampung Naga dan Kampung Pulo (Garut), adalah rumah panggung dengan ketinggian sekitar 50 cm dari atas tanah. Meskipun di daerah pesisir dan dataran rendah, rumah umumnya ngupuk (bukan panggung), tapi ada bukti yang menunjukkan bahwa di situ pun dahulu rumah berbentuk panggung. Rumah Panggung, selain untuk mencegah bahaya (binatang, banjir, dll), juga memberi kehangatan pada penghuninya. Tiang rumah terbuat dari kayu, tetapi diletakkan diatas batu yang disebut umpak (di Kanekes) atau tatapakan.

    Rumah tradisional sunda terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

    Hareup (depan)
    Bagian depan disebut tepas atau emper, digunakan sebagai tempat menerima tamu laki-laki. Tepas di Baduy disebut juga sosoro dan ada yang diberi tambahan yang disebut sosompang (Khusus di rumah Jaro). Sejajar dengan tepas, biasanya ada kamar yang disediakan untuk tamu.

    Tengah
    Bagian tengah disebut tengah imah, terdiri dari pangkeng (bilik) yang kadang-kadang memakai batas dengan dinding bilik, tapi ada juga yang tidak. Pangkeng atau enggon adalah tempat untuk tidur. Dalam rumah yang agak besar, di bagian tengah ini biasanya ada ruangan untuk berkumpul seisi rumah.

    Tukang (belakang)
    Bagian belakang rumah terdiri dari dapur dan goah. Laki-laki kalau tidak terpaksa sekali tidak boleh masuk ke dapur, apalagi masuk goah. Pamali (tabu), laki-laki yang masuk dapur dianggap tidak baik, cupar. Dapur selain berfungsi sebagai tempat memasak, juga sering dipakai untuk menerima tamu perempuan.

    Dengan demikian jelas bahwa hareup dalah dunia laki-laki, sedangkan tukang adalah tempat perempuan. Hal ini juga nampak pada fungsi halaman. Halaman depan menjadi tempat kegiatan laki-laki, biasanya ditanami berbagai pohon buah-buahan, atau dipakai untuk menjemur padi, dll. Sedang di halaman belakang terdapat sumur atau pancuran, kolam ikan dan ditanami tanaman untuk lalab atau yang mengandung obat-obatan.

    Kerangka rumah tradisional sunda disebut rangkay. Rangkay terdiri dari tiga bagian. Bagian atas disebut hateup (atap) dan suhunan(bubungan), bagian tengah disebut rangka atau badan, dan bagian bawah disebut salasar (lantai). Atap rumah tradisional terbuat dari ijuk, atau daun enau, tapi belakang lebih banyak mempergunakan genting, kecuali yang di Kanekes dan Kampung Naga.

    Ada tiga jenis suhunan, yaitu suhunan panjang, suhunan pendek (suhunan jure) dan lisung nangkub (lesung tertelungkup). Sedangkan bentuknya ada yang disebut limasan, tagog anjing, dll. Bahan-bahan rumah terbuat dari kayu, walaupun mungkin dahulu ada juga rumah yang tiangnya terbuat dari bambu, karena ada peribahasa hejo tihang, yaitu sebutan buat orang yang selalu pindah-pindah rumah, sehingga tiangnya tak sempat kering. Dinding rumah terbuat dari bilik, yaitu anyaman bambu, ada yang dianyam miring (anyaman kepang), ada yang lurus (anyaman sasag). Ada juga yang mempergunakan papan. Lantai rumah terbuat dari talupuh atau palupuh, yaitu batang-batang bambu yang dibelah dan dicacah, tapi tak sampai terpisah, lalu diratakan dengan panggungnya (yang bersembilu) di atas. Bekas cacahannya memungkinkan udara leluasa masuk dari kolong rumah. Dengan demikian, baik melalui dinding bilik yang juga punya celah-celah, maupun melalui lantai palupuh, pertukaran udara dalam rumah berlangsung dengan baik, walaupun pada umumnya rumah tradisional tidak mempunyai jendela atau lubang angin.

    Tangga untuk naik rumah disebut golodog atau babancik (pada rumah tembok). Rumah panggung dengan tatapakan batu ini, secara teknis dapat bertahan dari guncangan gempa bumi, sehingga cocok dengan alam priangan yang banyak gunung apinya yang masih aktif. Tapi rumah-rumah di pesisir atau di dataran rendah, banyak ngupuk, bukan rumah panggung. Di daerah Cirebon bentuk rumah Jawa dan Cina yang Nampak pada bentuk suhunan, misalnya ada bentuk limasan dan suhunannya berbentuk ular naga. Namun pembagian rumah menjadi tiga: depan, tangah dan belakang, masih dipertahankan. Rumah tradisional masih nampak di perkampungan, tetapi kian lama kian banyak orang yang membuat rumah tembok dengan lantai tegel, karena hal itu dianggap menaikkan gengsinya dalam masyarakat. Hanya orang kanekes, penduduk kampung naga dan kampung pulo yang masih mempertahankan tradisi mereka.
    (santi2ka)

    Rumah Adat Sunda (gambar/sketsa)

    index

    Dalam masyarakat Sunda buhun (kuno) dikenal beberapa jenis bangunan rumah, Pada umumnya bangunan rumah adat sunda bentuknya panggung, yang kaki-kakinya (tatapakan, istilah sunda) terbuat dari batu persegi (balok) dalam bahasa Sunda disebut batu tatapakan. Untuk tihang (tiang) mengunakan kayu. Bagian bawah/lantai menggunakan papan kayu atau palupuh/talupuh dari bambu. Dindingnya memakai anyaman bambu (bilik) atau papan kayu.

    Perbedaannya terlihat pada bagian atas/atap (suhunan), antara lain:

    – Julang ngapak, yaitu bentuk bangunan rumah yang suhunan bagian sisi kiri kanan agak melebar ke samping. Ada juga yang menyebutnya memakai sorondoy. Apabila di lihat dari arah depan seperti burung yang sedang terbang.

    julangngapak

    sketsa suhunan julang ngapak…

    – Parahu kumureb, yaitu bentuk bangunan rumah yang atapnya (suhunan) membentuk perahu terbalik (telungkup).

    paruhukumereb

    sketsa suhunan parahu kumereb…

    – Suhunan jolopong, yaitu bentuk bangunan yang atapnya (suhunan) memanjang sering disebut suhunan panjang atau gagajahan.

    jolopong atau gagajahan

    sketsa suhunan jolopong…

    – Tagog anjing, yaitu bentuk bangunan mirip dengan bentuk badak heuay, tetapi ada sambungan kebagian depan dan sedikit turun. Jadi bangunannya tekuk (ngeluk) seperti anjng jongkok.

    tagoganjing

    sketsa suhunan tagog anjing…

    – Badak heuay, yaitu bentuk bangunan seperti saung tidak memakai wuwung sambungan atap (hateup) depan dengan belakang seperti badak sedang membuka mulutnya (menguap, arti sunda heuay).

    badakheuay

    sketsa suhunan badak heuay…

    – Capit gunting, yaitu bentuk bangunan rumah yang atap (suhunan) bagian ujung belakang atas dan depan atas menggunakan kayu atau bambu yang bentuknya menyilang dibagian atasnya seperti gunting.

    capitgunting

    sketsa suhunan capit gunting…

    Menelisik Rumah Adat Sunda

    Mengenal Rumah Adat Sunda1

    Pada masa kini, mungkin sudah banyak yang tidak mengetahui bagaimana sebenarnya ujud dari rumah khas tatar Pasundan. Ia bagai sesuatu yang sering terdengar sekaligus jauh dari jangkauan indera,padahal ia lahir dari tangan-tangan terampil. Tulisan ini pun sebenarnya berangkat dari sebuah hal yang sangat sederhana, berawal dari suatu sore yang biasa-biasa saja ketika sepupu saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar tiba-tiba bertanya tentang rumah adat Sunda. Sedikit terhenyak saya mendengar pertanyaan polos yang meluncur dari bibir mungilnya tesebut. Sebuah pertanyaan yang terkesan sangat remeh namun menggugah keinginan saya untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal itu. Rumah adat Sunda, bagaimanakah ia sebenarnya? Dan penelusuran kecil-kecilan saya pun lalu tiba-tiba saja dimulai.

    Tak ada yang bisa menyangkal, setiap rumah adat tentu memiliki ciri dan keunikannya masing-masing. Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m – 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk menaiki rumah disediakan tangga yang disebut Golodog terbuat dari kayu atau bambu, biasanya tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi pula untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.

    Rumah adat Sunda sendiri sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.

    Jolopong – atas dasar popularitasnya itu – penelusuran saya pun lalu semakin mengarah pada bentukan rumah adat yang satu ini. Bentuk Jolopong sendiri memiliki dua bidang atap. Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.

    Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi, untuk menerima tamu. Pada waktu dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk dan jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu.

    Jika ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini ternyata memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar-tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia. Sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh sang rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah di komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.

    jenis dan bentuk rumah tradisional sunda

    Memang, bentuk dan gaya rumah adat Sunda sudah sangat jarang dijumpai apalagi di daerah perkotaan. Perkembangan jaman membuat rumah-rumah bergaya barat lebih mendominasi, namun bukan berarti gaya tradisional ini hilang sama sekali. Rumah orang Sunda dewasa ini sebagian besar tidak lagi seperti model tradisional, baik dalam penggunaan segala jenis material maupun dalam bentuk dan model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau yang lain menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya, rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah Sunda. Hal ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik materi ada nilai lain yang terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang Sunda yang sangat mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket dengan nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup. Di samping itu, keberadaan kampung adat maupun kampung budaya di Jawa Barat sangat menolong eksistensi bentuk dan gaya suhunan rumah adat Sunda. Bukan hanya nama-nama suhunan rumah yang dipertahankan, tetapi bentuknya pun dipertahankan dan dikembangkan sesuai bentuk aslinya.

  2. putrinurasihfatimah Says:

    Angklung
    Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

    Untuk jenis orkestra bernama sama lihat Angklung (gamelan).

    Musik dari Indonesia
    Traditional indonesian instruments04.jpg
    Gong dari Jawa
    Garis waktu • Contoh
    Ragam
    Klasik • Kecak • Kecapi suling • Tembang Sunda • Pop • Dangdut • Hip hop • Keroncong • Gambang keromong • Gambus • Jaipongan • Langgam Jawa • Pop Batak • Pop Minang • Pop Sunda • Tarling • Musik tegalan • Qasidah modern • Rock • Tapanuli ogong • Tembang Jawa
    Bentuk tertentu
    Angklung • Beleganjur • Calung • Gamelan • Degung • Gambang • Gong gede • Gong kebyar • Jegog • Joged bumbung • Salendro • Selunding • Semar pegulingan
    Musik daerah
    Bali • Kalimantan • Jawa • Kepulauan Maluku • Papua • Sulawesi • Sumatera • Sunda
    Angklung

    Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.

    Daftar isi

    1 Asal-usul
    2 Jenis Angklung
    2.1 Angklung Kanekes
    2.2 Angklung Reyog
    2.3 Angklung Banyuwangi
    2.4 Angklung Bali
    2.5 Angklung Dogdog Lojor
    2.6 Angklung Gubrag
    2.7 Angklung Badeng
    2.8 Buncis
    2.9 Angklung Padaeng
    2.10 Angklung Sarinande
    2.11 Angklung Toel
    2.12 Angklung Sri-Murni
    3 Ensemble angklung
    3.1 Klasik Padaeng
    3.2 Angklung solo
    3.3 Arumba
    4 Teknik permainan angklung
    5 Berlatih Angklung
    6 Angklung interaktif
    7 Modernisasi angklung
    8 Sumber rujukan
    9 Pranala luar

    Asal-usul
    Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.

    Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

    Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

    Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

    Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[butuh rujukan]

    Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

    Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

    Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
    Jenis Angklung
    Angklung Kanekes

    Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

    Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

    Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

    Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
    Angklung Reyog

    Angklung Reyog merupakan alat musik untuk mengiringi tarian reyog ponorogo di jawa timur. angklung Reyog memiliki khas dari segi suara yang sangat keras, memiliki dua nada serta bentuk yang lengkungan rotan yang menarik (tidak seperti angklung umumnya ang berbentuk kubus) dengan hiasan benang berumbai-rumbai warna yang indah. di kisahkan angklung merupakan sebuah senjata dari kerajaan bantarangin ketika melawan kerajaan lodaya pada abad ke 9, ketika kemenangan oleh kerajaan bantarangin para prajurit gembira tak terkecuali pemegang angklung, karena kekuatan yang luar biasa penguat dari tali tersebut lenggang hingga menghasilkan suara yang khas yaitu klong- klok dan klung-kluk bila didengar akan merasakan getaran spiritual.

    Dalam sejarahnya angklung Reyog ini digunakan pada film: Warok Singo Kobra (1982), Tendangan Dari Langit (2011)

    Dan penggunaan angklung Reyog pada musik seperti: tahu opo tempe, sumpah palapa, kuto reog, Resik Endah Omber Girang, dan campursari berbau ponorogoan.
    Angklung Banyuwangi

    Angklung banyuwangi ini memiliki bentuk seperi calung dengan nada budaya banyuwangi
    Angklung Bali

    angklung bali memiliki bentuk dan nada yang khas bali,
    Angklung Dogdog Lojor

    Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

    Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

    Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
    Angklung Gubrag

    Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

    Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
    Angklung Badeng

    Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

    Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

    Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.

    Buncis

    Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.

    Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle…, dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.

    Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.

    Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.
    Angklung Padaeng

    Untuk keterangan lebih detail mengenai angklung ini, silakan kunjungi artikel Angklung Padaeng

    Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.
    Angklung Sarinande

    Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do Rendah sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada Sol Rendah hingga Mi Tinggi).
    Angklung Toel

    Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008. [1] Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat karena adanya karet.
    Angklung Sri-Murni

    Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung. [2] Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.
    Ensemble angklung

    Agar lebih kaya suaranya, angklung sebaiknya dimainkan dengan alat musik lain membentuk ensembel. Beberapa ensembel angklung yang sudah mapan adalah:
    Klasik Padaeng

    Ensemble angklung klasik yang dikenalkan oleh Pak Daeng Soetigna terdiri atas:

    Angklung melodi
    Angklung akompanimen
    Bas betot

    Kombinasi minimal inilah yang paling populer dan umum dijumpai saat konser maupun lomba paduan angklung.
    Angklung solo

    Angklung solo adalah konfigurasi dimana satu unit angklung melodi digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Angklung Solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan dimainkan bersama alat musik basanova dalam group yang menamakan diri Aruba (Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini disesuaikan menjadi Arumba[3]
    Arumba

    Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble) yang minimal terdiri atas: [4]

    Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
    Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
    Gambang bambu melodi
    Gambang bambu akompanimen
    Gendang

    Konfigurasi awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama grup “Arumba Cirebon” [5].
    Teknik permainan angklung

    Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:

    Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
    Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
    Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).

    Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan teknik sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera setelah nada berikutnya mulai berbunyi.
    Berlatih Angklung

    Angklung akan terdengar merdu dan megah jika dimainkan beramai-ramai dengan kompak. Untuk itu, diperlukan persiapan dan latihan yang cukup panjang, dipimpin pelatih yang cukup punya pemahaman musik umum maupun angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:

    Pilih lagu dengan aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan angklung umumnya yang berirama riang, dan jika bisa ada bagian yang rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan teknik centok. Lagu ini kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung, dengan memiliki beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis di kertas yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
    Siapkan unit angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa diketahui berapa angklung yang diperlukan berdasar rentang nada lagu dan keseimbangan intonasinya.
    Kumpulkan pemain dan distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada pemain yang memegang banyak angklung, harus diperhatikan agar si pemain tersebut tidak akan pernah memainkan dua angklung pada saat bersamaan. Untuk itu biasanya dipakai tabel tonjur.
    Pemanasan. Sebelum berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan tangan, lalu lakukan gerakan-gerakan dasar untuk kurulung maupun centok bersama-sama.
    Mempelajari lagu. Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana bait-bait dan chorus yang harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini dibawah pimpinan konduktor. Disarankan agar selama latihan awal semua nada di-centok saja, jangan dikurulung dulu.
    Menghafal not. Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan bagian permainannya.
    Meningkatkan teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa mulai memimpin dengan menekankan keserempakan permainan, dinamika, maupun penjiwaan.
    Koreografi. Jika akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi agar para pemain melakukan gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku terus menerus.

    Angklung interaktif

    Angklung interaktif adalah kegiatan dimana seorang konduktor mengajak banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain angklung beramai-ramai [6]. Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat pariwisata atau acara ramah tamah. Pada para peserta akan dibagikan angklung-angklung yang sudah diberi nomor sesuai nadanya. Lalu, sang konduktor akan memimpin, biasanya dengan cara:

    Konduktor membuka satu layar besar bertuliskan lagu dalam not angka, lalu mengajak para peserta memainkan angklung yang tepat dengan menunjuk nada pada layar.
    Konduktor mengajarkan isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada penonton, kemudian memimpin suatu lagu dengan memberikan isyarat yang tepat secara berurutan untuk diikuti para peserta. Isyarat tangan ini di-adaptasi oleh Mang Udjo, berdasar isyarat yang dikembangkan oleh John Curwen.
    Sebelumnya, Pak Daeng Soetigna menggunakan isyarat gambar binatang untuk melatih anak-anak TK.[7]

    Isyarat angklung sarinande.png
    Modernisasi angklung

    Secara esensial, angklung adalah alat musik bambu yang dimainkan dengan digetar. Hal tersebut tidak boleh diubah. Meski demikian, berbagai upaya kreatif untuk memodernisasinya terus berlangsung, seperti:

    Angklung elektrik karya Agus Suhardiman [8]

    Angklung otomatis, Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya [9]

    Tra-digi, angklung robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim Ghozali. [10][11]

    Klungbot, robot angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama dan Karismanto Rahmadika [12], kemudian dilanjutkan oleh Eko Mursito Budi. [13]

Leave a reply to putrinurasihfatimah Cancel reply